Rabu, 14 Oktober 2009

Tindakan Preventif untuk Program Keselamatan di Perlintasan Sebidang (Tanggapan Kasus Kecelakaan Pramex-Bus di Ceper, Klaten, Jawa Tengah)

Kecelakaan antara Kereta Api Pramex jurusan Solo-Yogyakarta dengan Bus Pariwisata Hadi Mulyo dari Sragen pada hari Minggu, tanggal 5 Juli 2009 di lintasan sebidang (tanpa palang pintu) Mbah Ruwet, Dukuh Tegaldhuwur, Desa Pokak, Ceper, Klaten Jawa Tengah telah meninggalkan duka yang sangat mendalam bagi keluarga korban. Setidaknya 15 (lima belas) nyawa telah menjadi taruhan dari kejadian tersebut. Masyarakat Transportasi Indonesia menyampaikan rasa belasungkawa yang sangat mendalam atas kejadian yang sangat memilukan ini. Sebagai rasa empati dan tanggung jawab kami, MTI mencoba menelaah usulan program preventif untuk mengatasi salah satu permasalahan keselamatan transportasi kereta api.
Seringkali masyarakat memandang suatu kejadian kecelakaan sebagai kejadian yang “tidak disengaja” dan “tidak disangka-sangka”, sehingga tidak akan ada tindak lanjut untuk mengetahui apa yang menjadi penyebab dari kejadian tersebut. Padahal hal ini sangat diperlukan bagi perbaikan penyelenggaraan transportasi, dan mendorong kegiatan yang bersifat preventif untuk dapat meminimalisir kejadian kecelakaan serupa.
Dalam konteks kecelakaan antara KA Pramex dan Bus Pariwisata Hadi Mulyo di atas, dapat dikaji beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari para stakeholders transportasi, guna mendasari program atau kegiatan yang akan dilakukan untuk memperbaiki keselamatan di lintasan sebidang antara KA dengan kendaraan bermotor.
  1. Dari sisi prioritas, kereta api merupakan moda yang selalu mendapatkan prioritas utama apabila bertemu dengan perlintasan sebidang, hal ini sesuai dengan amanat UU no. 23 Tahun 2007. Yang menjadi pokok perhatian dalam kasus tersebut di atas adalah, bahwa disadari frekuensi kereta pramex sekarang ini setelah dioperasikannya double track meningkat dua kali lipat, yang sebelumnya 10 trip perhari (pp) menjadi 20 trip perhari (pp). Peningkatan ini sebagai konsekuensi dari demand yang cukup tinggi dan pembangunanan double track pada koridor tersebut. Dengan peningkatan frekuensi perjalanan maka secara langsung akan menyebabkan “probabilitas” kemungkinan terjadinya kecelakaan di lintasan sebidang juga akan meningkat. Untuk itu perlu kiranya peningkatan investasi pembangunan jalan rel harus juga diimbangi dengan peningkatan aspek keselamatan di koridor tersebut. Hal ini yang kiranya sampai dengan saat ini belum terlihat.
  2. Memperhatikan kendaraan (Bus Pariwisata Hadi Mulyo) yang terlibat kecelakaan dengan kereta pramex, yang bukan berasal dari wilayah disekitar kejadian. Maka dapat diasumsikan bahwa pengemudi (sopir bus) belum menguasai medan, sehingga pengemudi tidak siap ketika harus melewati perlintasan sebidang yang tidak berpalang. Untuk itu perlu kiranya rambu-rambu informasi keselamatan yang menginformasikan keberadaan suatu perlintasan sebidang (khususnya) yang tidak berpalang harus diinformasikan dalam jarak tertentu sebelum kendaraan memasuki wilayah perlintasan sebidang. Hal ini diperlukan agar pengemudi dapat siap dan mempersiapkan diri untuk lebih waspada dalam melintasi perlintasan sebidang. Early warning dan visibility terhadap rambu dan sistem informasi harus menjadi perhatian yang utama dalam penyelenggaran keselamatan transportasi.
  3. Berdasarkan amanat UU No 23/2007 tentang Perkeretaapian, Pasal 94, dijelaskan bahwa (1) untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan, perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin harus ditutup. (2) Penutupan perlintasan sebidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Memperhatikan uraian di atas jelas bahwa pemerintah “turut bertanggung jawab” terhadap kejadian di atas. Tetapi hanya menyalahkan pemerintah saja tanpa melihat latar belakang persoalan yang lebih besar dari penyelenggaraan transportasi tidaklah menyelesaikan masalah, karena kita menyadari salah satu permasalahan utama dari penyelenggaraan keselamatan transportasi adalah keterbatasan pembiayaan. Skema pembiayaan semacam program stimulus fiskal atau Dana Alokasi Khusus (DAK) transportasi untuk infrastruktur yang sekarang ini sedang akan dicanangkan dapat dijadikan sebagai solusi dalam pembiayaan infrastruktur keselamatan transportasi jalan/kereta api. Skema pembiayaan diatas dapat digunakan untuk membiayai infrastruktur fisik yang mampu memberikan dampak yang sangat cepat, dan memberikan manfaat jangka panjang. Selain itu infrastruktur yang dibiayai juga tidak membutuhkan biaya operasional dan maintenance yang besar, dan juga diharapkan penyelenggaraannya mampu menyerap tenaga kerja informal (padat karya). Dengan memperhatikan banyaknya perlintasan antara jalan kereta api dan jalan raya yang tidak berpintu dan berpenjaga maka program-program peningkatan keselamatan ini dapat didukung dengan program stimulus fiskal dan Dana Alokasi Khusus yang sedang direncanakan pemerintah.
Semoga dengan usulan perbaikan di atas, keselamatan transportasi di Indonesia dapat ditingkatkan dengan menekan jumlah kejadian kecelakaan sehingga tidak ada lagi jiwa manusia yang terengut akibat dari “minimnya” fasilitas keselamatan transportasi jalan/kereta api di Indonesia.

“SELAMAT”..................”ITU HARUS”......

awm; lws; wns: pustral-ugm; 6/7/2009
draft tanggapan MTI terhadap kecelakaan KA Pramex

Selasa, 13 Oktober 2009

Kebijakan dan Strategi untuk Meningkatkan Efisiensi Pengelolaan Infrastruktur Jalan secara Berkelanjutan

RINGKASAN
Infrastruktur jaringan jalan di Indonesia merupakan prasarana transportasi darat yang dominan (90% angkutan barang menggunakan moda jalan dan 95% angkutan penumpang menggunakan moda jalan) dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam mendukung kegiatan ekonomi, sosial, budaya, serta pertahanan dan keamanan, sehingga harus dipertahankan fungsinya dengan baik melalui sistem pemeliharaan yang baik pula. Terbukti betapa besarnya peran jalan selama ini dalam mendukung mobilitas dan distribusi penumpang, barang dan jasa.

Peran jalan yang sangat penting membawa implikasi bagi upaya dan kerja keras pemerintah dalam mewujudkan penyelenggaraan infrastruktur jalan yang berkualitas bagi masyarakat. Salah satu upaya yang ditempuh adalah melalui penyediaan anggaran pembangunan jalan setiap tahun untuk kegiatan pemeliharaan, peningkatan, dan pembangunan jalan baru yang merupakan tanggung jawab pemerintah dan atau pemerintah daerah, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 30 UU 38 tahun 2004 tentang Jalan. Namun demikian, upaya dan kerja keras yang ditempuh pemerintah tersebut nampaknya belum mampu mencapai keberhasilan yang diharapkan seluruh pihak. Kebijakan investasi untuk pembangunan infrastruktur jalan masih menghadapi hambatan besar dalam keterbatasan dana, baik pada tingkat pusat maupun daerah. Ditambah lagi permasalahan lain seperti pelanggaraan beban muatan, tidak berfungsinya sistem drainase, tidak berjalannya prinsip-prinsip good governance dalam penyelenggaraan infrastruktur jalan, dan koordinasi antarpihak terkait yang tidak berjalan cukup efektif dalam pengentasan akar masalah kerusakan jalan, semakin menambah beban bagi upaya pemerintah untuk keluar dari masalah kerusakan infrastruktur jalan.

Dengan memperhatikan permasalahan yang ada, muncul berbagai pemikiran untuk mewujudkan beberapa alternatif solusi perbaikan kerusakan jalan, antara lain: (1) gerakan nasional ”say no to overloading”; (2) perbaikan mekanisme pengelolaan infrastruktur jalan; (3) perbaikan tata kelola dalam penyelenggaraan infrastruktur jalan (good corporate governance); (4) optimalisasi penyelenggaraan multimoda angkutan barang untuk mengurangi volume pergerakan kendaraan di jalan

Kata kunci: moda dominan, infrastruktur jalan, kerusakan jalan, alternatif solusi

ringkasan dari Policy Brief dengan judul yang sama
TPEKTN; Asdep Transportasi, Deputi V Menko Perkerekonomian, Agustus 2009
lws&jsm: pustral-ugm
file lengkap tersedia....kirim data pribadi dan maksud dari permintaan file ke alamat email: lilikwbs@gmail.com

...selamat datang...dab....

.....transportasi dll..........