Don't ever have an idea to build the outer ring road if you have already
had the ring road. Let's Make the roads (ring road) not only for
transportation, but also to protect the sprawling city. -- lws
A new study by CEOs for Cities has found that what creates traffic jams
isn’t more cars and fewer highways, it’s sprawl. This is a look at the
10 metropolitan areas whose citizens spend the most and least extra time
in traffic due to sprawl, out of 51 cities studied.
SOURCE: Driven Apart by Joe Cortright for CEOs for Cities, 2010
Minggu, 20 Mei 2012
Selasa, 08 Mei 2012
TERINTEGRASINYA JARINGAN JALAN LINTAS SULAWESISEBAGAI PENDUKUNG PENGEMBANGAN WILAYAH
Simposium VII FSTPT, Universitas Katolik Parahyangan, 11 September 2004
http://www.scribd.com/doc/62067332/Terintegrasinya-Jaringan-Jalan-Sulawesi
http://www.scribd.com/doc/62067332/Terintegrasinya-Jaringan-Jalan-Sulawesi
Kecelakaan Beruntun Tewaskan 6 Orang
Selasa, 14 Februari 2012 07:31 WIB
ANTARA/Siswowidodo/ip
Kecelakaan pertama menimpa bus Mira yang bertabrakan dengan truk trailer di Ngawi, Jawa Timur. Empat orang tewas dan 16 cedera dalam kecelakaan tersebut. Mereka yang tewas, antara lain, Herni Tiasih, 35, guru asal Desa Garing, Kecamatan Sukodono, Sidoarjo, dan Nurwanto, kernet bus warga Nganjuk. Dua orang lainnya belum teridentifikasi.
Kecelakaan lain menimpa sebuah minibus sarat penumpang yang terjun ke jurang sedalam 10 meter di Desa Wisnu, Kecamatan Watu Kumpul, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Dua penumpang bus tewas dan 21 orang cedera dalam musibah itu.
Di luar dua kecelakaan itu masih ada kecelakaan yang tidak menimbulkan korban jiwa dan di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Truk Imanuel yang mengangkut 34 penumpang terbalik di kilometer 8 ruas jalan Soe-Niki-Niki, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Minggu (12/2) petang. Musibah itu mengakibatkan empat penumpang patah kaki dan puluhan lainnya luka robek di kepala, tangan, dan kaki.
Lalai
Peneliti masalah transportasi pada Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Lilik Wachid Budi Susilo menegaskan banyaknya kecelakaan lalu lintas terutama di jalan raya disebabkan oleh rendahnya rasa tanggung jawab berkendara.
Meski demikian, Lilik tidak menampik faktor lain yang ikut berperan hingga terjadi kecelakaan lalu lintas, antara lain menyangkut kecepatan berkendara, usia pengemudi, tanggung jawab terhadap penggunaan SIM, kesiapan infrastruktur, hingga protokol kecelakaan.
Menteri Perhubungan EE Mangindaan mengatakan banyaknya kecelakaan yang melibatkan bus diduga akibat perusahaan dan sopir bus tidak menjalankan ketentuan yang sudah berlaku. Menurut Menhub, pihaknya belum memutuskan sanksi untuk bus yang terlibat kecelakaan hingga menewaskan penumpang. Sanksi yang diberikan bisa berupa penghentian operasional sejumlah armada bus.
Jika terbukti ada faktor kelalaian, kata Menhub, bukan tidak mungkin izin trayek dicabut. Namun, pencabutan izin trayek tidak mudah dilakukan. Karena bila izin trayek dicabut, "Nanti sopir, keneknya tidak kerja. Kita kan mau membuka lapangan kerja, bukan menutup lapangan kerja," ujar Menhub.
Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Soeroyo Alimoeso menegaskan aturan jam kerja pada angkutan umum telah dituangkan dalam Undang-Undang (UU) No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Umum. Dalam UU itu disebutkan pengendara angkutan umum diwajibkan beristirahat setelah menempuh perjalanan selama 4 jam.
Apabila perjalanan yang ditempuh cukup panjang, tambah Soeroyo, operator dianjurkan menyediakan pengemudi cadangan. Misalnya, untuk rute Jakarta-Surabaya, yang membutuhkan waktu perjalanan lebih dari 4 jam, perusahaan otobus memiliki kebijakan untuk mengutamakan nilai keselamatan. "Bisa beristirahat di rumah makan," katanya kepada Media Indonesia, Jakarta, kemarin. (AS/PO/AU/*/X-9)
http://www.mediaindonesia.com/read/2012/02/14/298289/289/101/Kecelakaan-Beruntun-Tewaskan-6-Orang
Peneliti Tanggung Jawab Pengendara di Jalan Rendah
Kamis, 16 Februari 2012 21:37 Ditulis oleh Adm Informasi Perhubungan
YOGYAKARTA
- Kecelakaan lalu lintas yang sering terjadi disebabkan oleh rendahnya
tanggung jawab pengendara saat berkendara di jalan raya, kata peneliti
Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada Lilik
Wachid Budi Susilo.
"Selama ini
masyarakat yang telah memiliki surat izin mengemudi (SIM) tidak
ditekankan rasa tanggung jawab ketika berkendara di jalan raya, yang
akan melibatkan keselamatan orang lain," katanya di Yogyakarta, Senin.
Menurut dia, untuk bisa memperoleh SIM, masyarakat lebih banyak
mendapatkan teori dan ujian praktik. Padahal, rasa tanggung jawab yang
menyangkut keselamatan orang lain justru lebih penting untuk ditekankan.
"Bukan hanya pengendara kendaraan pribadi tetapi juga pengendara
kendaraan umum yang membawa keselamatan orang banyak," katanya.
Ia mengatakan, standar kecepatan berkendaraan di jalan raya selama ini
juga tidak jelas penerapannya. Selama ini ruang publik lebih banyak
dihiasi reklame dan iklan daripada dengan rambu-rambu lalu lintas dan
aturan batas kecepatan berkendara.
Misalnya, jika maksimal kecepatan berkendara 50 kilometer per jam tentu
bagi pejalan kaki harus dibatasi aksesnya, jangan dicampur dengan
kendaraan lain.
Selain itu,
menurut dia, protokol kecelakaan juga belum ada. Contohnya, ketika
terjadi kecelakaan lalu lintas kepada siapa masyarakat pertama kali
harus melapor.
"Polisi ketika
datang di lokasi kecelakaan pun terkadang juga masih kebingungan
bagaimana prosedur merawat atau memberikan pertolongan pertama kepada
korban kecelakaan," katanya.
Di
sisi lain, kata dia, juga belum ada persamaan persepsi antarpemangku
kepentingan seperti dari Jasa Raharja, kepolisian, maupun Kementerian
Perhubungan.
Ia mencontohkan,
kepolisian dan Kementerian Perhubungan lebih fokus pada penyiapan
infrastruktur dan keselamatan di jalan raya, sedangkan Jasa Raharja
lebih banyak fokus pada seberapa cepat mereka bisa membayar klaim untuk
menyantuni korban kecelakaan lalu lintas.
"Biaya untuk menyantuni korban kecelakaan yang meninggal di Indonesia
sangat kecil sekitar Rp25 juta. Di Malaysia bisa mencapai Rp2 miliar,
dan Singapura Rp3,5 miliar," katanya.
Ia mengatakan, di beberapa negara maju sistem asuransi sistem tripartit
yang melibatkan perusahaan asuransi dari korban kecelakaan maupun
pelaku telah berjalan cukup baik.
Di negara-negara maju, menurut dia, juga telah diterapkan sistem
hukuman semacam denda bagi yang bersalah akan membayar ganti rugi yang
lebih besar.
"Dengan sistem
tersebut diharapkan akan menjadi salah satu bahan pemikiran agar
masyarakat lebih berhati-hati ketika berkendara di jalan raya," katanya.
Ia mengatakan, setelah ditetapkan sebagai pihak yang bersalah pihak asuransi pelaku akan membayar ke pihak asuransi korban.
"Selanjutnya pada tahun depan pelaku harus membayar premi yang besar, sehingga akan membuat pelaku jera," katanya.
Sumber : Suara Karya / Antara
http://dishub-diy.net/perhubungan/peneliti-tanggung-jawab-pengendara-di-jalan-rendah.html
Pengamat UGM: Tanggung Jawab Berkendara di Jalan Raya Masih Rendah
Maraknya kecelakaan lalu lintas yang menelan korban jiwa akhir-akhir ini membuat keprihatinan serta rasa was-was ketika berada di jalan raya. Pengamat masalah transportasi dari Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) UGM Lilik Wachid Budi Susilo, S.T., M.T. mengatakan banyak faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas di jalan baik yang berasal dari kendaraan umum maupun pribadi. Beberapa faktor tersebut antara lain menyangkut kecepatan berkendara, usia muda, tanggung jawab terhadap penggunaan SIM, kesiapan infrastruktur, hingga protokol kecelakaan.
http://www.gadjahmada.org/liputan-berita/pengamat-ugm-tanggung-jawab-berkendara-di-jalan-raya-masih-rendah
Permohonan SIM Harus Diperketat
Rabu, 15 Februari 2012 15:36 Fetika Andriyani Dilihat: 78 Kali
Sumber foto : lifeinthetropics.cyberbali.com
RRI-Jogja News, Permohonan Surat Ijin
Mengemudi SIM harus diperketat menyusul meningkatnya kecelakaan lalu
lintas yang melibatkan bus dan truck.
Tanggung Jawab Berkendara di Jalan Raya
dinilai Masih Rendah. Hal tersebut terbukti dari meningkatnya kecelakaan
lalu lintas yang melibatkan bus dan truck disejumlah wilayah
akhir-akhir ini. Pengamat masalah transportasi dari Pusat Studi
Transportasi dan Logistik – PUSTRAL - UGM Lilik Wachid Budi Susilo,
mengatakan banyak angka kecelakaan yang melibatkan bus dan truck tidak
lepas dari longgarnya aparat dalam memberikan SIM pada para pengguna.
Sebab selama ini kompetensi Surat Ijin Menegemudi hanya ditekankan pada
aspek teknis saja, namun tidak mencakup aspek kognisi yakni
tanggungjawab pemegang SIM. Padahal, rasa tanggung jawab yang menyangkut
keselamatan orang lain justru lebih penting untuk ditekankan. Bukan
saja pengendara kendaraan pribadi tetapi khususnya juga pengendara
kendaraan umum yang membawa keselamatan orang banyak.
Selain penggunaan SIM banyak faktor
penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas di jalan baik yang berasal
dari kendaraan umum maupun pribadi. Beberapa faktor tersebut antara lain
mengenai aturan laju kendaraan. Menurut Lilik standar kecepatan
berkendara di jalan raya selama ini tidak jelas penerapannya. Aturan
rambu lalu lintas seharusnya bisa diakses pengguna jalan di banyak ruas
jalan, namun kenyataannya ruas jalan justru banyak digunakan untuk papan
reklame.
Untuk menekan angka kecelakaan maka efek
jera harus lebih ditekankan. Menurut Lilik pemerintah perlu
mempertimbangkan denda bagi pelaku sebab di negara lain sistem hukuman
denda efektif untuk menekan kecelakaan. Menurut Lilik, sistem ganti rugi
akan menjadi pertimbangan agar masyarakat lebih berhati-hati ketika
berkendara di jalan.
http://rrijogja.co.id/berita/nasional/berita-pertahanan-keamanan/1037
Peneliti: Kecelakaan Disebabkan Rendahnya Rasa Tanggung Jawab
http://www.kabarbekasi.com/archives/10523
KabarBekasi.com
– Akhir-akhir ini kecelakaan maut terdengar marak di media-media
akibat kelalaian sopir yang mengantuk sampai sopir yang mengkonsumsi
narkoba. Hal ini sangat rentan dan merugikan para penumpang dan pengguna
jalan raya. Maka dari itu, Dinas Perhubungan (Dishub) melakukan uji
emisi kendaraaan untuk mencegah dan meminimalkan terjadinya kecelakaan
yang terjadi.
Peneliti masalah transportasi Pusat Studi
Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Lilik
Wachid Budi Susilo menegaskan, “banyaknya kecelakaan lalu lintas
terutama di jalan raya disebabkan oleh rendahnya rasa tanggung jawab
berkendara”.
Lilik menambahkan, hal ini juga
dikarenakan faktor lain yang ikut berperan sehingga terjadi kecelakaan
lalu lintas, antara lain menyangkut kecepatan berkendara, usia
pengemudi, tanggung jawab terhadap penggunaan SIM, kesiapan
infrastruktur, hingga protokol kecelakaan.
Menteri Perhubungan EE Mangindaan
mengatakan banyaknya kecelakaan yang melibatkan bus diduga akibat
perusahaan dan sopir bus tidak menjalankan ketentuan yang sudah berlaku.
Menurut Menhub, pihaknya belum memutuskan sanksi untuk bus yang
terlibat kecelakaan hingga menewaskan penumpang. Sanksi yang diberikan
bisa berupa penghentian operasional sejumlah armada bus.
Jika terbukti ada faktor kelalaian, kata
Menhub, bukan tidak mungkin izin trayek dicabut. Namun, pencabutan izin
trayek tidak mudah dilakukan. Karena bila izin trayek dicabut, “Nanti
sopir, keneknya tidak kerja. Kita kan mau membuka lapangan kerja, bukan
menutup lapangan kerja,” ujar Menhub. (KabarBekasi.com/Pr/kp/MI)
Tanggung Jawab Berkendara di Jalan Masih Minim
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/02/14/109456/Tanggung-Jawab-Berkendara-di-Jalan-Masih-Minim
YOGYAKARTA, suaramerdeka.com - Pengamat masalah transportasi dari Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, Lilik Wachid Budi Susilo ST MT mengatakan, banyak faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas di jalan baik yang berasal dari kendaraan umum maupun pribadi.
Beberapa faktor tersebut antara lain menyangkut kecepatan berkendara, usia muda, tanggung jawab terhadap penggunaan SIM, kesiapan infrastruktur, hingga protokol kecelakaan.
Dia menjelaskan, selama ini masyarakat yang telah memiliki SIM tidak ditekankan rasa tanggung jawabnya bahwa ketika berkendara di jalan raya akan melibatkan keselamatan orang lain. Untuk bisa memperoleh SIM, katanya, masyarakat lebih banyak mendapatkan teori dan ujian praktik saja.
Padahal, rasa tanggung jawab yang menyangkut keselamatan orang lain justru lebih penting untuk ditekankan. Di sisi lain, belum ada persamaan persepsi antar stakeholder seperti dari Jasa Raharja, Kepolisian, maupun Departemen Perhubungan.
Ditambahkan, di beberapa negara maju sistem asuransi tripartit yang melibatkan perusahaan asuransi dari korban kecelakaan maupun pelaku telah berjalan cukup baik. Di sana juga telah diterapkan sistem hukuman semacam denda bagi yang bersalah akan membayar ganti rugi yang lebih besar lagi. Dengan sistem tersebut maka menurut Lilik juga akan menjadi salah satu bahan pemikiran agar masyarakat lebih berhati-hati ketika berkendara di jalan raya.
Menurutnya, standar kecepatan berkendara di jalan raya selama ini juga tidak jelas penerapannya. Sementara ruang publik lebih banyak dihiasi dengan reklame dan iklan daripada dengan rambu-rambu lalu lintas serta aturan batas kecepatan berkendara.
Sementara itu protokol kecelakaan, menurutnya, juga belum ada. Dia mencontohkan, ketika terjadi kecelakaan lalu lintas kepada siapa masyarakat pertama kali harus melapor. Polisi ketika datang di lokasi kecelakaan pun terkadang juga masih kebingungan bagaimana prosedur merawat atau memberikan pertolongan pertama kepada korban kecelakaan.
"Protokol kecelakaan juga belum ada. Polisi kalau mengangkat korban kecelakaan salah kan bisa semakin parah sakitnya. Ini yang juga harus jadi perhatian," tambahnya.
( Bambang Unjianto / CN31 / JBSM )
YOGYAKARTA, suaramerdeka.com - Pengamat masalah transportasi dari Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, Lilik Wachid Budi Susilo ST MT mengatakan, banyak faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas di jalan baik yang berasal dari kendaraan umum maupun pribadi.
Beberapa faktor tersebut antara lain menyangkut kecepatan berkendara, usia muda, tanggung jawab terhadap penggunaan SIM, kesiapan infrastruktur, hingga protokol kecelakaan.
Dia menjelaskan, selama ini masyarakat yang telah memiliki SIM tidak ditekankan rasa tanggung jawabnya bahwa ketika berkendara di jalan raya akan melibatkan keselamatan orang lain. Untuk bisa memperoleh SIM, katanya, masyarakat lebih banyak mendapatkan teori dan ujian praktik saja.
Padahal, rasa tanggung jawab yang menyangkut keselamatan orang lain justru lebih penting untuk ditekankan. Di sisi lain, belum ada persamaan persepsi antar stakeholder seperti dari Jasa Raharja, Kepolisian, maupun Departemen Perhubungan.
Ditambahkan, di beberapa negara maju sistem asuransi tripartit yang melibatkan perusahaan asuransi dari korban kecelakaan maupun pelaku telah berjalan cukup baik. Di sana juga telah diterapkan sistem hukuman semacam denda bagi yang bersalah akan membayar ganti rugi yang lebih besar lagi. Dengan sistem tersebut maka menurut Lilik juga akan menjadi salah satu bahan pemikiran agar masyarakat lebih berhati-hati ketika berkendara di jalan raya.
Menurutnya, standar kecepatan berkendara di jalan raya selama ini juga tidak jelas penerapannya. Sementara ruang publik lebih banyak dihiasi dengan reklame dan iklan daripada dengan rambu-rambu lalu lintas serta aturan batas kecepatan berkendara.
Sementara itu protokol kecelakaan, menurutnya, juga belum ada. Dia mencontohkan, ketika terjadi kecelakaan lalu lintas kepada siapa masyarakat pertama kali harus melapor. Polisi ketika datang di lokasi kecelakaan pun terkadang juga masih kebingungan bagaimana prosedur merawat atau memberikan pertolongan pertama kepada korban kecelakaan.
"Protokol kecelakaan juga belum ada. Polisi kalau mengangkat korban kecelakaan salah kan bisa semakin parah sakitnya. Ini yang juga harus jadi perhatian," tambahnya.
( Bambang Unjianto / CN31 / JBSM )
Transjogja Urged to Return to Public Service Function
http://indii.co.id/news_daily_detail.php?id=3142
“Transportation services are in chaos, while locally-generated revenues come up short.”
Yogyakarta – Transportation management by
the DIY provincial government through provision of Transjogja buses is
considered increasingly disorganised because it has lost its essence as a
public service solution for mass transportation.
“So far, Transjogja has been a double
burden. On the one hand, it is expected to address the need for
locally-generated revenues (PAD), and on the other it is meant to
resolve transportation problems by providing public services,” said
Lilik Wachid Budi Susilo, a transportation expert from the Centre for
Transportation and Logistics Studies at Gadjah Mada University in
Yogyakarta, yesterday.
He expressed his disappointment at the
meeting between transportation experts and the DIY provincial government
at the DIY DPRD yesterday. According to him, these two interests cannot
be combined. “If we talk about public transportation, that means
services, and how the public can access them most easily, if possible
without any cost,” said Lilik.
According to him, when services are
combined with a business orientation, this will create problems for
Transjogja. He pointed to the Financial Audit Board (BPK) findings of
deviations in the administration of Vehicle Operating Costs in December
2011 in the amount of Rp 21 billion, leading to the suspension of 20
buses because they do not yet have yellow license plates for their
operations. “Now everything is gone. Public services and transportation
are still chaotic and confused, while PAD still comes up short,” he
said.
According to Lilik, learning from advanced
countries such as Belgium, the government should find other ways to
increase PAD revenues. “Not by tying them up to public service
facilities,” he said. The government has ignored that in its Transjogja
operations to date. For instance, there are no particular advantages to
this transport mode. Transjogja has merged with other transportation
modes, simply adding to the congestion because it runs along the slow
lane, which is dominated by vehicles travelling slowly. “There is also
no advantage in it, particularly in the city centre,” he said.
In contrast, Tjipto Haribawa, Head of the
DIY Transport Office, is confident that with the current position of
Transjogja buses, transportation problems can be resolved and local
revenues increased. He says that with the transfer of Transjogja to
regional company PT Anindya Mitra Internasional, revenues should start
coming in, since the nature of the transfer involves PT Jogja Tugu Trans
paying a lease to be the operator. “The government will obtain revenues
and the public will obtain services,” he said.
Tjipto said that this belief is coupled
with systematic completion steps this year to position Transjogja as a
service directed towards the ‘bus priority’ context. “Not through a
dedicated lane, but by being prioritised,” he said.
As a pilot project for the Transjogja
priority lane, a special lane will be opened on the North ring road,
from Jombor to Demak Ijo, stretching 8 kilometres. This lane will be in
the middle of the four existing roads. The plan is to build bus shelters
in the middle along with crossing bridges. This plan will be proposed
in the Revised Local Budget for 2012 (APBD Perubahan). “Buses
will only stop at the shelters,” he said. The Transjogja buses will have
GPS installed, and it is expected that when they are 100 metres from a
traffic light, the traffic light will turn green. As a consequence, the
red light for traffic from other directions will be longer. This system
will be controlled by the Transport Office.
To improve services, the bus fleet will be
expanded to reduce the waiting time for passengers. Passengers are
currently complaining of bus delays of 20-25 minutes. The additional
buses will be accompanied by the opening of 12 new routes. Currently,
the Transjogja bus only operates four routes. “The additional routes
will use 112 buses,” he said. This target number of buses will be
achieved by 2020. (Pribadi Wicaksono)
16 February 2012
Source : Koran Tempo
Source : Koran Tempo
Belum Ada Protokol Kecelakaan
http://www.duniajogja.com/2012/02/14/belum-ada-protokol-kecelakaan/
Selasa, 14 Februari 2012 20:26 WIB.
PENGAMAT transportasi dari Pusat Studi Transportasi dan Logistik UGM, Lilik Wachid Budi Susilo ST MT mengatakan, banyak penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas. Antara lain menyangkut kecepatan berkendara, usia muda, tanggung jawab terhadap penggunaan SIM yang dimiliki, kesiapan infrastruktur, hingga protokol kecelakaan.
Masyarakat yang telah memiliki SIM tidak ditekankan tanggung jawab ketika berkendara di jalan raya akan melibatkan keselamatan orang lain. Memperoleh SIM, masyarakat lebih banyak mendapatkan teori dan ujian praktik. Padahal, tanggung jawab menyangkut keselamatan orang lain justru lebih penting ditekankan.
“Bukan saja pengendara kendaraan pribadi khususnya, tapi juga pengendara kendaraan umum yang membawa keselamatan orang banyak,” kata Lilik Wachid hari ini.
Saat ini belum ada ada persamaan persepsi antar stake holder seperti dari Jasa Raharja, Kepolisian, maupun Departemen Perhubungan. Dephub dan Kepolisian fokus pada penyiapan infrastruktur dan keselamatan di jalan raya. Jasa Raharja lebih fokus pada seberapa cepat mereka bisa membayar klaim untuk menyantuni korban kecelakaan lalu lintas.
“Standar kecepatan berkendara di jalan raya selama ini tidak jelas penerapannya. Sementara ruang publik lebih banyak dihiasi dengan reklame dan iklan daripada dengan rambu-rambu lalu lintas serta aturan batas kecepatan berkendara,” sindirnya.
Persoalan lain, protokol kecelakaan juga belum ada. Lilik mencontohkan ketika terjadi kecelakaan lalu lintas, tidak ada kejelasan tempat masyarakat melapor. Protokol kecelakaan belum ada. (affan safani)
Selasa, 14 Februari 2012 20:26 WIB.
PENGAMAT transportasi dari Pusat Studi Transportasi dan Logistik UGM, Lilik Wachid Budi Susilo ST MT mengatakan, banyak penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas. Antara lain menyangkut kecepatan berkendara, usia muda, tanggung jawab terhadap penggunaan SIM yang dimiliki, kesiapan infrastruktur, hingga protokol kecelakaan.
Masyarakat yang telah memiliki SIM tidak ditekankan tanggung jawab ketika berkendara di jalan raya akan melibatkan keselamatan orang lain. Memperoleh SIM, masyarakat lebih banyak mendapatkan teori dan ujian praktik. Padahal, tanggung jawab menyangkut keselamatan orang lain justru lebih penting ditekankan.
“Bukan saja pengendara kendaraan pribadi khususnya, tapi juga pengendara kendaraan umum yang membawa keselamatan orang banyak,” kata Lilik Wachid hari ini.
Saat ini belum ada ada persamaan persepsi antar stake holder seperti dari Jasa Raharja, Kepolisian, maupun Departemen Perhubungan. Dephub dan Kepolisian fokus pada penyiapan infrastruktur dan keselamatan di jalan raya. Jasa Raharja lebih fokus pada seberapa cepat mereka bisa membayar klaim untuk menyantuni korban kecelakaan lalu lintas.
“Standar kecepatan berkendara di jalan raya selama ini tidak jelas penerapannya. Sementara ruang publik lebih banyak dihiasi dengan reklame dan iklan daripada dengan rambu-rambu lalu lintas serta aturan batas kecepatan berkendara,” sindirnya.
Persoalan lain, protokol kecelakaan juga belum ada. Lilik mencontohkan ketika terjadi kecelakaan lalu lintas, tidak ada kejelasan tempat masyarakat melapor. Protokol kecelakaan belum ada. (affan safani)
Senin, 19 Maret 2012
TRANSJOGJA, Transportasi Istimewa Yogyakarta
Akhir-akhir ini sering kita membaca polemik tentang penyelenggaraan transjogja. Banyak pihak telah mengeluarkan pendapat mengenai transjogja dari sudut pandang masing-masing. Tetapi fokus atau muara dari pembahasan transjogja akhir-akhir ini mengerucut pada rencana perubahan pengelolaan transjogja yang selama ini di dilakukan oleh PT. Jogja Tugu Trans sebagai pihak ketiga kepada BLUD ataupun BUMD (PT. AMI). Pendapat ini didorong oleh beberapa pendapat yang menganggap bahwa penyelenggaraan transjogja tidak berhasil khususnya dilihat dari subsidi yang terus dikucurkan oleh pemerintah daerah kepada angkutan massal ini. Sehingga disimpulankan adanya permasalahan dalam pengelolaan (keuangan) transjogja. Pertanyaan yang muncul dibenak penulis adalah, apakah dengan perubahan pengelolaan ini kelak penyelenggaraan transjogja dapat berjalan dengan baik (berhasil)? Atau mereka yang sepakat dengan pendapat ini menganggap akar masalah dari transjogja adalah dari sisi pengelolaannya, bukan dari sisi yang lain.
Benarkah transjogja gagal dan menurut siapa?
Kalau pertanyaan “berhasilkah bus transjogja saat ini” diberikan kepada setiap orang baik pengguna, calon pengguna, wakil rakyat maupun dari pihak pemerintah (penanggung jawab penyediaan jasa) pasti akan mendapatkan jawaban yang berbeda beda, tetapi paling tidak, tidak semua jawaban mengarah pada kondisi bahwa transjogja tidak berhasil.
Dari sisi layanan transportasi, transjogja memang bisa dikatakan “tidak berhasil” hal ini dapat dilihat dari tidak dipenuhinya syarat-syarat sebuah transportasi massal yang harus mempunyai kelebihan sehinggga dapat diperbandingkan dengan kendaraan pribadi dan mampu menjadi pilihan cerdas dalam bertransportasi. Transjogja saat ini, tidak lebih cepat dari kendaraan pribadi, ikut terlibat dalam kemacetan bahkan menjadi penyebab kemacetan, tidak tepat waktu, kecepatan perjalanan lebih lambat dari kendaraan lain dan masih banyak lagi yang bersifat negatif. Jadi apa sebenarnya yang menjadi keunggulan dari transjogja, padahal tanpa adanya keunggulan tersebut sulit bagi masyarakat pengguna kendaraan pribadi berpindah menggunakan transjogja, kecuali bagi sebagian masyarakat yang mau menggunakan moda ini karena “kebetulan” wilayah tempat tinggalnya dan tujuan aktifitasnya dilewati oleh rute dari transjogja atau memang mereka tidak mempunyai alternatif pilihannya .
Dari sisi subsidi seperti dijelaskan di awal, wakil rakyat cukup “gerah” karena subsidi transjogja masih terus dikucurkan selama 4 tahun ini dan semakin menambah beban anggaran pemerintah daerah sehingga sangat wajar kalau bapak-ibu wakil rakyat mempertanyakan hal ini.
Di sisi lain, dari pihak penanggung jawab layanan, mereka sudah berusaha keras menyelenggarakan angkutan umum massal ini sehingga telah menjadi angkutan “pilihan” bagi sebagian masyrakat. Secara fisik perbaikan atau perubahan yang tejadi adalah dari angkutan umum yang didominasi oleh bus yang tidak laik jalan (usia tua) dan sistem kejar setoran telah menjadi layanan bus baru ber ac (peremajaan), halte tinggi yang “nyaman” dan menggunakan sistem layanan “buy the service”, dimana sopir tidak lagi dituntut untuk mengejar setoran yang dahulu imbasnya merugikan masyarakat (ugal-ugalan, kecelakaan, seenaknya sendiri menurunkan penumpang dan lain sebagainya). Jadi jika dilihat dari sisi ini benar kiranya bahwa pemerintah sebagai penanggung jawab akan layanan dasar angkutan umum masal telah melakukan tugasnya tinggal apakah masyarakat mau menggunakannya atau tidak.
Jadi Berhasilkah Transjogja?
Untuk menilai secara objektif apakah transjogja berhasil memang sudah seharusnya dikembalikan kepada tujuan awal dari penyelenggaraan transjogja ini, karena dengan membandingkan antara tujuan awal dan kondisi saat ini bisa diketahui apakah transjogja ini sudah berhasil atau belum. Tetapi permasalahan besarnya adalah sampai dengan saat ini penulis bahkan mungkin banyak masyarakat yang tidak paham ataupun tidak tahu tujuan awal dari penyelenggaraan transjogja ini. Mungkin karena kurang disosialisasikan atau karena seringnya berubah tujuan dari penyelenggaraan transjogja ini. Tapi yang terpenting, semoga bukan karena transjogja saat ini diselenggarakan tanpa mempunyai tujuan.
Jadi apabila tujuan dari transjogja adalah peremajaan atau perbaikan angkutan umum massal, maka bisa dianggap transjogja ini berhasil, karena telah mengubah fisik bis kota kita dari yang dulunya tua, kotor, jelek, tidak berwasan lingkungan menjadi bagus, ber ac dan nyaman.
Tapi apabila tujuan dari transjogja adalah menyelenggarakan transportasi massal yang sifatnya rapid atau cepat (BRT atau bus priority) maka transjogja tidak bisa dikatakan berhasil, karena selain lambat juga tidak ada sifat priority atau keberpihakan kepada transjogja ini. Sehingga wajar apabila transjogja tidak mampu menjadi salah satu pendukung perbaikan transportasi kota tetapi malah menjadi penyebab permasalahan transportasi di kota.
Sedangkan jika tujuan dari transjogja adalah menyelenggarakan angkutan umum massal yang profit atau paling tidak nilai subsidi berkurang secara signifikan maka transjogja ini juga dianggap tidak berhasil karena besarnya subsidinya masih dianggap membebani keuangan daerah.
Yang menarik, sebenarnya transjogja telah memberikan ciri khas bagi Propinsi/Kota Yogyakarta. Buktinya setiap kita bertemu dengan orang di luar Yogyakarta, mereka seringkali menanyakan keberadaan transjogja, ini artinya transjogja telah melekat dan menjadi ikon bagi propinsi DI Yogyakarta. Bahkan penyelenggaraan transjogja telah menjadi barometer ataupun percontohan dalam penyelenggaraan angkutan umum massal dibeberapa kota di Indonesia.
Jadi kalau dirangkum dari penjelasan di atas maka kita tidak bisa menjawab secara pasti apakah transjogja saat ini berhasil atau tidak, selama tidak disepakati tujuan awal dari penyelenggaraan transjogja.
Transjogja butuh prasayarat keberhasilan.
Akar permasalahan dari transjogja sebenarnya bukan pada apakah subsidinya naik atau turun. Tetapi lebih kepada keberpihakan pemerintah terhadap layanan transjogja ini. Selama transjogja tidak mendapatkan perlakuan khusus/istimewa (privilage) maka transjogja tidak akan mampu beroperasi secara optimal. Keberpihakan ini erat kaitannya dengan 2 hal:
Pertama bagaimana political decisions dari pemerintah daerah. Transjogja ini mau dijadikan apa? Apakah hanya sebagai alat angkut saja, atau transjogja identik dengan citra transportasi yang manusiawi dan mampu memberikan citra positif bagi Propinsi DI Yogyakarta. Beberapa kota di negara maju (asia dan eropa) telah memandang angkutan umum massal sebagai salah satu pembentuk kota yang humanis dan meningkatkan citra kota. Jika transjogja ditetapkan dengan fungsi ini, maka indikator keberhasilannya tidak lagi hanya pada masalah subsidi, karena sangat dimungkinkan layanan transjogja dapat diselenggarakan dengan full subsidi (penumpang gratis). Sehingga diharapkan dapat menjadi tulang punggung transportasi perkotaan dan mampu menarik pengguna yang lebih banyak sehingga dapat menghasilkan benefit yang sangat besar dari sektor lain misal: pariwisata, pendidikan, perekonomian yang ikut meningkat karena nilai jual kota yang ikut menaik. Secara ekonomi, benefit peningkatan di sektor-sektor lain ini sangat besar nilainya jika dibandingkan dengan biaya investasi dan operasional dari transjogja.
Yang kedua, bagaimana pemerintah memberikan prasayarat yang dibutuhkan agar transjogja ini dapat berjalan dengan baik. Membiarkan transjogja untuk berkompetisi langsung dengan kendaraan pribadi adalah langkah yang keliru. Transjogja harus diberi kekhususan dan atau kendaraan pribadi diberikan batasan yang sifatnya mempersulit dan mempermahal penggunaannya. Misalnya kebijakan parkir progresif yang sangat mahal di tengah kota bagi kendaraan pribadi, kebijakan kendaraan pribadi dibatasi waktunya atau dibebani tarif mahal untuk masuk ke pusat kota tapi bebas untuk transjogja, jalan satu arah untuk kendaraan pribadi tetapi untuk transjogja diperbolehkan dua arah, penegakan pembatasan kecepatan 30 km per jam di semua ruas jalan dalam kota bagi kendaraan pribadi sehingga kendaraan pribadi tidak lebih cepat dari transjogja adalah beberapa contoh dari bentuk keberpihakan tersebut.
Mari Selamatkan Transjogja
Transjogja saat ini telah mempunyai market yang cukup jelas, dan perjalanannya selama 4 tahun ini telah menghabiskan investasi yang tidak sedikit, walaupun diakui masih banyak “PR” yang harus dikerjakan menuju angkutan massal yang ideal. Jangan sampai citra baik transjogja yang telah melekat di Propinsi atau Kota Yogyakarta menjadi hilang karena penyelenggaraan transjogja yang gagal, sehingga transjogja nantinya akan diingat sebagai “bad practises” bagi transportasi di Indonesia.
Untuk itu mari kita selamatkan transjogja dengan menjadikan transjogja sebagai ikon TRANSPORTASI ISTIMEWANYA YOGYAKARTA. Pastikan transjogja mempunyai tujuan yang jelas dan disepakati bersama sehingga jelas pula ukuran keberhasilannya. Buat roadmap transjogja yang transparan dan jelas pentahapannya sehingga masyarakat tahu posisi dan akan dibawa kemana transjogja. Selain itu masyarakat juga dapat berpartisipasi aktif sebagai pengawas penyelenggaraan transjogja. Berikan keberpihakan pada transjoga sehingga transjogja mempunyai karakteristik atau ciri yang istimewa, kalau perlu beri lajur khusus sehingga mempunyai keunggulan yang masif dari kendaraan pribadi. Bangun infrastruktur jalan yang berorientasi pada angkutan umum massal, pejalan kaki dan pesepeda bukan hanya menambah kapasitas jalan untuk kendaraan pribadi.
Masyarakat juga dapat terlibat langsung dalam penyiapan prasyarat ini, misalnya bagaimana menyiapkan generasi kedepan dengan mengubah cara pandang anak-anak dan keluarga kita terhadap angkutan umum. Yang biasanya kita mengajarkan anak kita bertransportasi dengan urutan: berjalan, bersepeda, bersepeda motor sekarang kita ubah menjadi: berjalan, mengenal kota, bersepeda, dan menggunakan angkutan umum (transjogja).
Selanjutnya beri penjelasan kepada mereka terhadap resiko yang sangat besar menggunakan sepeda motor, yaitu resiko kecelakaan dan menjadi penyebab kecelakaan. Sayangilah anak kita dengan tidak mudah memberi ijin menggunakan sepeda motor dan sarankan menggunakan transjogja, dan yang terpenting adalah contoh terbaik dari diri kita sendiri untuk mulai menggunakan transjogja.
jogja 2011
jogja 2011
Selasa, 03 Januari 2012
Sepeda Motor Beri Kontribusi Kemacetan di DIY Jogya
Tribun Jateng - Jumat, 30 Desember 2011 07:45 WIB
Laporan Wartawan Tribun Jogya/ Sigit Widya
TRIBUNJATENG.COM YOGYA, - Mencermati lalu lintas jalan di DIY, khususnya di wilayah perkotaan, masyarakat semakin dihadapkan kepada kompleksitas permasalahan nan rumit dan menjenuhkan. Selain kemacetan, tanpa disadari, setiap pengendara juga harus menanggung biaya yang kian hari kian tinggi.
Dari sisi waktu perjalanan, bila diukur dan ditabulasikan per bulan, tampak efek hambatan waktu (time delay) yang cukup signifikan. Perhitungan Tribun Jogja dari wawancara sejumlah pengendara, Kamis (29/12/2011), rata-rata telah terjadi penurunan waktu tempuh lima persen per bulannya.
Untuk diketahui bersama, bila waktu tempuh rata-rata pengendara saat ini adalah 30 menit, maka waktu tempuh pada bulan berikutnya menjadi 31,5 menit. Jika digeneralisasi linier, waktu tempuh tersebut meningkat drastis menjadi 48 menit pada tahun berikutnya.
Adanya hambatan waktu sebesar itu, tentunya menuntut para pengendara meningkatkan kecepatan untuk mengembalikan waktu tempuh kepada kondisi semula. Hal tersebut dibuktikan dari banyaknya kendaraan yang beradu kecepatan saat pagi, terutama di ruas jalan utama di DIY.
Sepeda motor menjadi alat transportasi yang paling besar dalam memberikan sumbangsih terhadap kepadatan lalu lintas di DIY. Menurut catatan Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, pertumbuhan cepat sepeda motor diawali pada 2000, di mana saat itu terdapat 490.641 unit di seluruh DIY.
Setahun berselang, angkanya sudah berubah signifikan menjadi 597.143 unit atau naik 9,9 persen. Kemudian pada 2002, terjadi kenaikan sebesar 10,7 persen, menjadi 666.941 unit. Sementara pada 2003, jumlahnya sudah mencapai 755.101 unit. Hingga akhirnya, pada awal 2007 jumlah sepeda motor di DIY menyentuh angka 1 juta unit.
"Penambahan maupun pelebaran ruas jalan bukan solusi, tapi justri kontraproduktif. Selain membuang banyak biaya, mendesak aksesibilitas pejalan kaki, dan mengurangi cadangan oksigen yang dihasilkan pohon-pohon di tepi jalan, terobosan tersebut hanya berpihak kepada pemakai kendaraan pribadi," kata Peneliti Pustral UGM, Lilik Wachid Budi Susilo.
Bagaimana dengan kondisi pertumbuhan sepeda motor pada 2011? Menurut Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika DIY, Tjipto Haribowo, jumlah sepeda motor di DIY bertambah 7.000 unit per bulannya. Sementara jumlah keseluruhannya, saat ini sudah menyentuh angka 3,5 juta unit.
"Angka tersebut akan terus bertambah setiap tahunnya. Bila Pemerintah DIY bertindak membatasi peredaran sepeda motor, bisa dianggap melanggar HAM. Untuk itu, satu-satunya cara mengerem perkembangan sepeda motor di DIY adalah dengan memperbaiki sistem transportasi massal," terangnya.
Wujudnya adalah mengupayakan perbaikan kinerja moda transportasi yang saat ini tersedia, yakni Trans Jogja. Meski ia sadar diri, saat ini Trans Jogja baru melayani di tiga jalur, dengan jumlah armada hanya 54 bus. Namun, ke depan ia berjanji untuk meningkatkan keterbatasan tersebut melalui penambahan jalur dan armada.
"Kami sedang berusaha agar mampu melayani 12 jalur, dengan jumlah armada lebih dari 120 bus. Perlu diketahui, selama ini operasional kami masih disubsidi oleh Pemerintah DIY melalui APBD. Dari total dana APBD sebanyak Rp 28 miliar yang dikucurkan, kami baru bisa mengembalikan Rp 19 miliar atau masih kurang Rp 9 miliar," aku Tjipto. (igy)
TRIBUNJATENG.COM YOGYA, - Mencermati lalu lintas jalan di DIY, khususnya di wilayah perkotaan, masyarakat semakin dihadapkan kepada kompleksitas permasalahan nan rumit dan menjenuhkan. Selain kemacetan, tanpa disadari, setiap pengendara juga harus menanggung biaya yang kian hari kian tinggi.
Dari sisi waktu perjalanan, bila diukur dan ditabulasikan per bulan, tampak efek hambatan waktu (time delay) yang cukup signifikan. Perhitungan Tribun Jogja dari wawancara sejumlah pengendara, Kamis (29/12/2011), rata-rata telah terjadi penurunan waktu tempuh lima persen per bulannya.
Untuk diketahui bersama, bila waktu tempuh rata-rata pengendara saat ini adalah 30 menit, maka waktu tempuh pada bulan berikutnya menjadi 31,5 menit. Jika digeneralisasi linier, waktu tempuh tersebut meningkat drastis menjadi 48 menit pada tahun berikutnya.
Adanya hambatan waktu sebesar itu, tentunya menuntut para pengendara meningkatkan kecepatan untuk mengembalikan waktu tempuh kepada kondisi semula. Hal tersebut dibuktikan dari banyaknya kendaraan yang beradu kecepatan saat pagi, terutama di ruas jalan utama di DIY.
Sepeda motor menjadi alat transportasi yang paling besar dalam memberikan sumbangsih terhadap kepadatan lalu lintas di DIY. Menurut catatan Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, pertumbuhan cepat sepeda motor diawali pada 2000, di mana saat itu terdapat 490.641 unit di seluruh DIY.
Setahun berselang, angkanya sudah berubah signifikan menjadi 597.143 unit atau naik 9,9 persen. Kemudian pada 2002, terjadi kenaikan sebesar 10,7 persen, menjadi 666.941 unit. Sementara pada 2003, jumlahnya sudah mencapai 755.101 unit. Hingga akhirnya, pada awal 2007 jumlah sepeda motor di DIY menyentuh angka 1 juta unit.
"Penambahan maupun pelebaran ruas jalan bukan solusi, tapi justri kontraproduktif. Selain membuang banyak biaya, mendesak aksesibilitas pejalan kaki, dan mengurangi cadangan oksigen yang dihasilkan pohon-pohon di tepi jalan, terobosan tersebut hanya berpihak kepada pemakai kendaraan pribadi," kata Peneliti Pustral UGM, Lilik Wachid Budi Susilo.
Bagaimana dengan kondisi pertumbuhan sepeda motor pada 2011? Menurut Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika DIY, Tjipto Haribowo, jumlah sepeda motor di DIY bertambah 7.000 unit per bulannya. Sementara jumlah keseluruhannya, saat ini sudah menyentuh angka 3,5 juta unit.
"Angka tersebut akan terus bertambah setiap tahunnya. Bila Pemerintah DIY bertindak membatasi peredaran sepeda motor, bisa dianggap melanggar HAM. Untuk itu, satu-satunya cara mengerem perkembangan sepeda motor di DIY adalah dengan memperbaiki sistem transportasi massal," terangnya.
Wujudnya adalah mengupayakan perbaikan kinerja moda transportasi yang saat ini tersedia, yakni Trans Jogja. Meski ia sadar diri, saat ini Trans Jogja baru melayani di tiga jalur, dengan jumlah armada hanya 54 bus. Namun, ke depan ia berjanji untuk meningkatkan keterbatasan tersebut melalui penambahan jalur dan armada.
"Kami sedang berusaha agar mampu melayani 12 jalur, dengan jumlah armada lebih dari 120 bus. Perlu diketahui, selama ini operasional kami masih disubsidi oleh Pemerintah DIY melalui APBD. Dari total dana APBD sebanyak Rp 28 miliar yang dikucurkan, kami baru bisa mengembalikan Rp 19 miliar atau masih kurang Rp 9 miliar," aku Tjipto. (igy)
Editor : budi_pras
http://jateng.tribunnews.com/2011/12/30/sepeda-motor-beri-kontribusi-kemacetan-di-diy-jogya
RESPON MASYARAKAT TERHADAP PENGEMBANGAN FASILITAS PARK AND RIDE UNTUK MENDUKUNG ANGKUTAN UMUM PERKOTAAN
DOI: Joewono , Soemardjito and Lilik Wachid , Budi Susilo (2009) RESPON MASYARAKAT TERHADAP PENGEMBANGAN FASILITAS PARK AND RIDE UNTUK MENDUKUNG ANGKUTAN UMUM PERKOTAAN. In: Workshop dan Simposium XII Forum Studi Transportasi antar Perguruan Tinggi (FSTPT), 13-14 November 2009, Universitas Kristen Petra.
Abstract
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kondisi transportasi perkotaan yang menghadapi permasalahan seperti tingginya penggunaan kendaraan pribadi, kemacetan, dan kerawanan kecelakaan lalu lintas. Upaya pemecahan masalah yang dilakukan pemerintah adalah mendorong masyarakat untuk menggunakan angkutan massal. Namun upaya tersebut belum berjalan efektif. Hal tersebut dikarenakan penyediaan sarana dan prasarana transportasi publik belum cukup memadai dan memenuhi harapan serta kebutuhan masyarakat. Dengan demikian penyediaan fasilitas pendukung transportasi publik diharapkan dapat menjadi solusi permasalahan tersebut, salah satunya adalah penyediaan fasilitas layanan perpindahan antarmoda dari kendaraan pribadi ke angkutan umum. Fasilitas tersebut dikenal dengan istilah park and ride. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon masyarakat terhadap pengembangan fasilitas park and ride pada kota-kota di wilayah Jabodetabek dan kota-kota lain: Yogyakarta, Medan, dan Surabaya, sebagai studi kasus. Metode survey wawancara terhadap 1.050 responden dilakukan untuk mendapatkan informasi aktual terkait persepsi dan harapan masyarakat terhadap pengembangan fasilitas park and ride. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa aspek fisik yang perlu diperhatikan dalam pengembangan fasilitas park and ride adalah: (i) keberadaan fasilitas yang relative dekat dengan lokasi permukiman; (ii) kemudahan diakses dengan moda pribadi, baik kendaraan bermotor maupun non-motor; (iii) fasilitas parkir yang mencukupi; (iv) fasilitas parkir yang dapat berfungsi sebagai simpul transportasi publik; (v) ruang tunggu yang nyaman; (vi) jaminan keamanan kendaraan; dan (vii) kelengkapan sistem informasi fasilitas termasuk jadwal perjalanan angkutan. Sedangkan aspek non-fisik yang ditanyakan adalah: (i) kenyamanan fasilitas; (ii) pelayanan terhadap pengguna/pengunjung; dan (iii) pengoperasian fasilitas.
Dialog Publik Jasa Raharja
Yogyakarta, www.jogjatv.tv - Sebagai bentuk sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya menjaga keselamatan transportasi, Jasa Raharja cabang DIY, Rabu(21/9) pagi, menggelar dialog publik dengan menggandeng elemen pemangku kepentingan transportasi. Dari hasil dialog tersebut diambil kesimpulan bahwa perlu kesadaran dan koordinasi seluruh pihak dalam mengupayakan tertib berlalu lintas.
Sebagai agenda tahunan untuk menampung aspirasi masyarakat terhadap perbaikan transportasi, serta sosialisasi menjaga keselamatan transportasi, Jasa Raharja cabang DIY, Rabu(21/9) pagi, kembali menggelar dialog publik terbuka dengan menggandeng beberapa stakeholder bidang transportasi darat dan udara. Hadir sebagai nara sumber dalam dialog publik yang bertema “Jasa Raharja, asuransi masyarakat Indonesia”, kepala cabang Jasa Raharja DIY, Ani Indriyati, wakadirlantas Polda Diy, Stephen M.Napiun, ketua DPD organda DIY, Jhony Pranantya, serta pakar transportasi dari pustral UGM Lilik Wachid Budi Susilo.
Kepala Jasa Raharja DIY, Ani Indriyati menuturkan, Jasa Raharja berusaha semaksimal mungkin dalam upaya peningkatan keselamatan transportasi dengan menggandeng seluruh pihak yang berwenang. Selain itu sejak 2008 besaran santunan kepada korban kecelakaan juga meningkat 150%, disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang nomor 34 tahun 1994.
Wachid Budi Susilo menilai tingginya angka kecelakaan di Indonesia tahun 2010 lalu, dengan besaran 31.234 jiwa meninggal dunia, tentunya menjadi pekerjaan rumah seluruh pemangku kepentingan dan yang paling penting adalah bukan hanya kesadaran masyarakat namun Sementara pakar transportasi dari pustral UGM lilik Memperbaiki seluruh sisi, yang memicu tingginya angka kecelakaan diantaranya perbaikan sarana prasarana transportasi.
http://www.jogjatv.tv/berita/21/09/2011/dialog-publik-jasa-raharja
Sebagai agenda tahunan untuk menampung aspirasi masyarakat terhadap perbaikan transportasi, serta sosialisasi menjaga keselamatan transportasi, Jasa Raharja cabang DIY, Rabu(21/9) pagi, kembali menggelar dialog publik terbuka dengan menggandeng beberapa stakeholder bidang transportasi darat dan udara. Hadir sebagai nara sumber dalam dialog publik yang bertema “Jasa Raharja, asuransi masyarakat Indonesia”, kepala cabang Jasa Raharja DIY, Ani Indriyati, wakadirlantas Polda Diy, Stephen M.Napiun, ketua DPD organda DIY, Jhony Pranantya, serta pakar transportasi dari pustral UGM Lilik Wachid Budi Susilo.
Kepala Jasa Raharja DIY, Ani Indriyati menuturkan, Jasa Raharja berusaha semaksimal mungkin dalam upaya peningkatan keselamatan transportasi dengan menggandeng seluruh pihak yang berwenang. Selain itu sejak 2008 besaran santunan kepada korban kecelakaan juga meningkat 150%, disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang nomor 34 tahun 1994.
Wachid Budi Susilo menilai tingginya angka kecelakaan di Indonesia tahun 2010 lalu, dengan besaran 31.234 jiwa meninggal dunia, tentunya menjadi pekerjaan rumah seluruh pemangku kepentingan dan yang paling penting adalah bukan hanya kesadaran masyarakat namun Sementara pakar transportasi dari pustral UGM lilik Memperbaiki seluruh sisi, yang memicu tingginya angka kecelakaan diantaranya perbaikan sarana prasarana transportasi.
http://www.jogjatv.tv/berita/21/09/2011/dialog-publik-jasa-raharja
Karut Marut Transportasi Publik
Mungkin tidak akan pernah cukup segudang kata-kata untuk menggambarkan betapa karut-marutnya transportasi publik di Indonesia. Dalam beberapa pekan terakhir saja, rentetan peristiwa buruk transportasi rajin menghiasi media masa. Pemerkosaan penumpang angkot di Jakarta, kecelakaan kapal Sri Murah Rejeki di Bali, disusul tenggelamnya kapal Dewi Putri Tunggal di Sumenep, hingga terbakarnya KM Marina Nusantara di Banjarmasin serta dihentikannya secara resmi rencana pembangunan monorel Jakarta oleh sang Gubernur, merupakan peristiwa terkini yang seakan menjadi sengatan pada ingatan kita semua betapa amburadulnya transportasi publik di negeri ini.
Belum jika kita mau menengok kembali problem klasik transportasi seperti kemacetan, kesemrawutan, ketidakamanan apalagi kenyamanan yang menyebar merata di hampir seluruh moda transportasi publik di seantero wilayah republik. Habis sudah rasanya kesabaran akal sehat ini untuk sekadar mengurai benang kusutnya.
Dalam suasana gelisah dan kalut inilah, MAP Corner edisi Selasa, 27 September 2011 berupaya mendiskusikan problem klasik nan akut itu bersama kawan-kawan dengan suasana santai. Tidak muluk-muluk tentu, tukar pikiran dengan pemantik Mas Lilik dan Mas Iwan, peneliti dari PUSTRAL UGM ini memang sekadar untuk tidak membiarkan akal sehat kita mati suri ditelan rumitnya masalah transportasi. Paling tidak, diskusi mampu melepas segala penat dan uneg-uneg terkait problem transportasi dengan lebih produktif.
Dipandu oleh Wayu Eko Yudiatmaja (S2 MKP 2010). diskusi berlangsung santai dan hangat. Mas Lilik, yang memiliki nama lengkap Lilik Wachid Budi Susilo, bersemangat menyampaikan tentang isu-isu di sekitar transportasi publik. Diskusi kali ini memang tidak dibatasi pada satu aspek saja, karena persoalan transportasi publik adalah masalah yang kompleks. Pembicara dapat dengan leluasa mempresentasikan paparannya mengenai permasalahan yang menjangkiti transportasi publik di Indonesia. Moderator pun memberikan kesempatan kepada peserta yang ingin menanggapi pernyataan Mas Lilik di tengah pembicaraan agar diskusi tidak terkesan formal.
Mas Lilik membuka pembicaran dengan menyatakan bahwa kebutuhan akan transportasi publik yang cepat, nyaman, aman dan murah adalah kebutuhan bersama. Namun, memang realitasnya belum menunjukkan bahwa transportasi publik sudah diarahkan untuk kepentingan kita. Realitas ini dapat dilihat dari rendahnya keberpihakan negara terhadap layanan transportasi publik. Bahkan, untuk layanan dasar tranportasi yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan telah diamanahkan oleh UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pemerintah tidak dapat memenuhinya. Contoh yang menarik untuk kasus ini adalah jika membandingkan Bus Trans Jakarta dan Bus Trans Jogja. Pertanyaan yang mengemuka adalah mengapa jalur Bus Trans Jogja tidak terpisah dengan jalur kendaraan lainnya dan mengapa Bus Trans Jogja harus menggunakan halte tinggi, padahal pergerakannya lambat. Fenomena ini mengindikasikan bahwa pemerintah suka mengadopsi tetapi seringkali lupa mengadaptasi. Dengan bahasa yang lebih ekstrem lagi, pemerintah masih belum serius mengelola tranportasi publik.
Angkutan umum memang menjadi moda tranportasi andalan. Oleh karena itu, angkutan umum yang berkualitas merupakan dambaan bagi masyarakat. Indikator untuk mengukur layanan angkutan umum yang berkualitas adalah; pertama, aksesibilitas (accesibility), terkait dengan bagaimana ketersediaan jalur (rute), angkutan dan jalan dari suatu tempat ke tempat lain. Kedua, kecepatan, transportasi publik harus bisa mengangkut orang dalam waktu yang singkat. Ketiga, subsidi pemerintah bisa berkurang. Diharapkan tranportasi publik menjadi urat nadi moda transportasi masyarakat sehingga pemerintah mendapatkan benefit dari cost yang dikeluarkan oleh masyarakat. Keuntungan itulah yang digunakan untuk membiayai operasionalisasi transportasi publik sehingga bisa mengurangi pengeluaran pemerintah.
Di tengah diskusi, beberapa peserta mencoba menanggapi dan memberikan perbandingan. Pak Uhaib (S3 MAP) berkomentar bahwa transportasi publik Indonesia ketinggalan jauh dari transportasi negara lain, seperti Thailand, Singapura, Mesir dan Afrika Selatan. Pak Marlan (S3 MAP) juga memberikan komentar mengenai rendahnya keberpihakan elit pembuat kebijakan terhadap transportasi publik. Pak Marlan menengarai rendahnya keberpihakan ini karena pembuat kebijakan tidak paham bagaimana merumuskan kebijakan tranportasi yang baik dan tersandera oleh kepentingan politik dan ekonomi. Sementara itu, pak Ilham (S3 MAP) melihat dari sisi lemahnya kepemimpinan sehingga menyebabkan karut-marut transportasi publik. Hisbi (S2 MKP) memberikan tanggapannya mengenai rendahnya perhatian pemerintah terhadap pejalan kaki. Sedangkan Habibi (MAP) melihat kekuatan kapital asing yang berkolaborasi dengan pemangku kepentingan menyebabkan suburnya transportasi privat, dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi produk kendaraan pribadi dari negara lain untuk masuk ke Indonesia. Akibatnya, transportasi publik dikelola dengan mengutamakan kepentingan angkutan privat.
Dalam presentasinya, mas Lilik seringkali menekankan bahwa ilmu transportasi dimana pun adalah sama. Namun, ketika dirumuskan menjadi kebijakan dan diimplementasikan, seringkali melenceng dari gagasan ideal. Kebijakan transportasi banyak yang tidak berpihak kepada masyarakat luas. Dalam ilmu transportasi, terdapat kesepakatan umum bahwa moda transportasi umum harus menjadi prioritas utama pilihan kebijakan transportasi. Akan tetapi, dalam kenyataannya kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak berpihak pada transportasi publik. Misalnya, kurangnya perhatian pemerintah untuk memperbaiki jalan yang rusak dan menambah lebar jalan.
Diskusi juga menyoroti permasalahan lemahnya koordinasi antar-instansi dalam mengelola transportasi di Indonesia. Menurut catatan, Indonesia merupakan negara dengan koordinasi terburuk di ASEAN. Hubungan antara Kepolisian, Dinas Perhubungan, Kementerian Perhubungan, penyelenggara asuransi tidak jelas dan terkesan bekerja sendiri-sendiri.
Banyaknya kecelakaan yang terjadi di jalan raya juga tidak luput menjadi bahan diskusi. Satu demi satu penyebab kecelakaan coba diidentifikasi. Di Indonesia sangat mudah sekali mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM). SIM sudah bisa diberikan jika sudah berumur 17 tahun. Padahal usia 17 tahun adalah usia yang masih labil dan belum bisa bertanggung-jawab penuh terhadap dirinya dan orang lain. Akibatnya, sering terjadi kecelakaan. Berdasarkan data Kepolisian, korban kecelakaan rata-rata berusia pada usia 17-20 tahun. Sedangkan di luar negeri, di Australia misalnya, ditetapkan syarat dan standar yang ketat dalam memberikan izin mengemudi. Di Australia SIM disebut dengan liason (lisensi), artinya orang yang memiliki SIM dan boleh mengendarai di jalan raya adalah orang yang memiliki keterampilan mengemudi.
Di jalan raya, kecelakaan adalah suatu keniscayaan dan tidak bisa hilang secara permanen. Dalam ilmu transportasi, kecelakaan menjadi sesuatu yang lumrah atau wajar. Kecelakaan bisa ditolerir, tetapi tingkat keparahan harus diminimalisir. Artinya, boleh terjadi kecelakaan tetapi tidak parah. Oleh karena itu, di luar negeri kecelakaan sering disebut sebagai crash (rusak/biasa) bukan accident (celaka/fatal).
Selama ini terdapat anggapan yang keliru mengenai kecelakaan. Hilangnya nyawa dan kecelakaan dianggap sebagai suatu nasib. Korban meninggal akibat kecelakaan hanya mendapat santunan Rp 25 juta dari asuransi. Angka itu jelas sangat kecil. Hal ini menandakan bahwa nyawa manusia kurang berharga. Seharusnya, jika dikalkulasikan secara cermat, pihak asuransi wajib membayar ganti rugi (bukan santunan) sebesar Rp 900 juta. Perhitungan ini didasarkan atas estimasi kehilangan waktu dan jam produktif korban. Selama nyawa manusia dianggap tidak berharga dan kecelakaan itu adalah nasib maka kehilangan nyawa dan kecelakaan di jalan raya akan sulit untuk diminimalisir.
Kecelakaan yang terjadi di jalan raya dapat dikurangi melalui intervensi kebijakan dari pemerintah. Sayangnya, perhatian pemerintah, terutama DPR dalam penyediaan anggaran yang berkaitan dengan transportasi publik juga kurang. Data dan fakta kecelakaan yang disampaikan pemerintah ke DPR tidak serta merta membuat DPR menganggarkan dana untuk penyediaan fasilitas jalan dan moda angkutan publik yang maksimal karena jumlah korban tidak menjadi penting oleh DPR. Sudah menjadi rahasia umum kalau DPR kurang antusias dengan sesuatu yang berhubungan dengan "jumlah" di luar uang (rupiah).
Diskusi berlangsung dengan hangat dan sudah mulai melebar ke topik-topik lain di luar isu transportasi publik. Hari juga sudah menunjukkan pukul 17.30 WIB. Akhirnya moderator memutuskan untuk menutup diskusi dan acara dilanjutkan dengan ngobrol-ngobrol santai diantara peserta dengan mas Lilik dan mas Iwan sambil menyantap hidangan angkringan yang disediakan oleh panitia. Sepenggal sore sekedar untuk mengurangi kegelisahan di pikiran pun telah terlewati, meski karut marut transportasi di luar sana masih terus saja menanti.
source:
http://map.ugm.ac.id/index.php/profil/147-karut-marut-transportasi-publik
http://map.ugm.ac.id/index.php/profil/147-karut-marut-transportasi-publik
Senin, 02 Januari 2012
Pengamat: Pengawalan Sepeda Motor Kontradiktif
Selasa, 7 September 2010 23:53 WIB | 2089 Views
Yogyakarta (ANTARA News) - Seorang pengamat dari Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menilai pengawalan terhadap sepeda motor merupakan langkah kontradiktif terhadap upaya menekan angka kecelakaan saat arus mudik maupun balik Lebaran.
"Pengawalan yang merupakan upaya untuk memperlancar arus lalu lintas kendaraan terkait dengan lewatnya iring-iringan sepeda motor itu, sangat kontradiktif, karena secara tidak langsung melegitimasi sepeda motor sebagai angkutan mudik maupun balik Lebaran," kata Lilik Wachid Budi Susilo, di Yogyakarta, Selasa.
Ia mengatakan pengawalan terhadap sepeda motor selama arus mudik Lebaran justru akan meningkatkan jumlah pemudik yang menggunakan sepeda motor.
"Padahal, sepeda motor merupakan moda transportasi yang paling rentan terhadap kecelakaan lalu lintas di jalan raya, tingkat keamanan dan keselamatannya rendah, serta bukan kendaraan yang didesain untuk perjalanan jarak jauh," katanya.
Menurut Lilik, alasan penggunaan sepeda motor sebagai angkutan mudik Lebaran disebabkan karena tingkat aksesibilitas dan fleksibilitas moda transportasi tersebut tergolong tinggi.
"Selain itu, jika dibandingkan dengan mobil pribadi, waktu perjalanan menggunakan sepeda motor lebih singkat dengan biaya perjalanan yang lebih murah," katanya.
Ia menilai pemerintah seharusnya melarang penggunaan sepeda motor untuk keperluan mudik maupun balik Lebaran. "Namun, pemerintah juga harus memberikan opsi kepada pengguna sepeda motor sebelum melakukan pelarangan penggunaan moda ini sebagai angkutan mudik maupun balik Lebaran," katanya.
Opsi tersebut menurut Lilik antara lain dengan meningkatkan kapasitas moda angkutan umum sebagai moda transportasi yang utama saat mudik maupun balik Lebaran.
"Salah satunya adalah dengan peningkatan kapasitas angkutan kereta api melalui revitalisasi jalur-jalur rel kereta api yang selama ini tidak aktif," katanya. (ANT-158/K004)
http://www.antaranews.com/berita/1283878397/pengamat-pengawalan-sepeda-motor-kontradiktif
Yogyakarta (ANTARA News) - Seorang pengamat dari Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menilai pengawalan terhadap sepeda motor merupakan langkah kontradiktif terhadap upaya menekan angka kecelakaan saat arus mudik maupun balik Lebaran.
"Pengawalan yang merupakan upaya untuk memperlancar arus lalu lintas kendaraan terkait dengan lewatnya iring-iringan sepeda motor itu, sangat kontradiktif, karena secara tidak langsung melegitimasi sepeda motor sebagai angkutan mudik maupun balik Lebaran," kata Lilik Wachid Budi Susilo, di Yogyakarta, Selasa.
Ia mengatakan pengawalan terhadap sepeda motor selama arus mudik Lebaran justru akan meningkatkan jumlah pemudik yang menggunakan sepeda motor.
"Padahal, sepeda motor merupakan moda transportasi yang paling rentan terhadap kecelakaan lalu lintas di jalan raya, tingkat keamanan dan keselamatannya rendah, serta bukan kendaraan yang didesain untuk perjalanan jarak jauh," katanya.
Menurut Lilik, alasan penggunaan sepeda motor sebagai angkutan mudik Lebaran disebabkan karena tingkat aksesibilitas dan fleksibilitas moda transportasi tersebut tergolong tinggi.
"Selain itu, jika dibandingkan dengan mobil pribadi, waktu perjalanan menggunakan sepeda motor lebih singkat dengan biaya perjalanan yang lebih murah," katanya.
Ia menilai pemerintah seharusnya melarang penggunaan sepeda motor untuk keperluan mudik maupun balik Lebaran. "Namun, pemerintah juga harus memberikan opsi kepada pengguna sepeda motor sebelum melakukan pelarangan penggunaan moda ini sebagai angkutan mudik maupun balik Lebaran," katanya.
Opsi tersebut menurut Lilik antara lain dengan meningkatkan kapasitas moda angkutan umum sebagai moda transportasi yang utama saat mudik maupun balik Lebaran.
"Salah satunya adalah dengan peningkatan kapasitas angkutan kereta api melalui revitalisasi jalur-jalur rel kereta api yang selama ini tidak aktif," katanya. (ANT-158/K004)
Editor: B Kunto Wibisono
COPYRIGHT © 2010http://www.antaranews.com/berita/1283878397/pengamat-pengawalan-sepeda-motor-kontradiktif
Langganan:
Postingan (Atom)
...selamat datang...dab....
.....transportasi dll..........